HARI RAYA GALUNGAN
Kebanyakan
umat Hindu melaksanakan hari raya Galungan dengan makn makanan lezat, bermain
dan meriah, sejatinya merayakan galungan hendaknya dari dalam diri, lingkungan
hingga ke alam semesta sehingga ada keseimbangan jagat raya terjaga selalu. Kemenangan
Dharma (kebenaran) dari melawan Adharma (keburukan) dalam diri, dunia dan alam
semesta secara skala dan niskala. Kemenangan hati nurani menaklukan sifat-sifat
buruk dalam diri yang selalu datang tidak hanya dalam hitungan wewaran, namun
setiap nafas berhembus sifat-sifat buruk dan jahat itu selalu datang dan
memerangi kesucian kita setiap waktu.
PENGERTIAN
GALUNGAN
Dalam bahasa sunda
Galungan di artikan dengan peperangan/pergolakan/pertempuran. Dalam bahasa jawa
kuno galungan berarti menang. Galungan bersinonim
dengan Dungulan (Bali) yang berarti menang juga. Hari raya Galungan jatuh pada
Budha Kliwon wuku dungulan/ Rabu Kliwon Minggu Dungulan. Hari raya galungan di
peringati 210 hari sekali atau 2 kali dalam setahun dalam hitungan kalender
Bali. Wikipidia menyebutkan Galungan adalah adalah
hari raya memperingati terciptanya alam semesta beserta isinya dan kemenangan Dharma (kebenaran) melawan
Adharma (kejahatan). Umat Hindu melakukan persembahan kehadapan Sang Hyang Widhi dan Dewa
Bhatara/dengan segala manisfestasinya sebagai tanda puji syukur atas
waranugrahanya serta untuk keselamatan selanjutnya Parisadha
Hindu Dharma menyimpulkan, bahwa upacara Galungan mempunyai arti Pawedalan Jagat atau Oton Gumi . Galungan oleh I Nyoman
Dayuh, (UNHI - Dps) mengartikan sebagai hari raya suci
Hindu yang jatuh pada Budha Kliwon Dungulan berdasarkan hitungan waktu bertemu
sapta wara dan panca wara. Umat Hindu dengan penuh rasa bhakti melaksanakan rangkaian hari raya suci
Galungan dan Kuningan dengan ritual keagamaan.
Jadi
dapat ditarik kesimpulan Galungan adalah Ngaturang
paramasuksmaning idép/menghaturkan puji syukur dan terimakasih tak terhingga
kepada Ida Sanghyang widi Wasa atas angayubagya, waranugraha yang kita
miliki dan merayakan Kemenangan atas peperangan/pertempuran Dharma/kebenaran melawan Adharma baik dalam
diri, dunia, dan alam semesta yang jatuh pada hari Budha Kliwon wuku Dungulan/
Rabu Kliwon minggu Dungulan.
SEJARAH GALUNGAN
Bagi
masyarakat Bali, Hari Raya Galungan mempunyai
cerita sendiri. Jaman dahulu tersebutlah seorang Raja keturunan Raksasa yang
sangat sakti dan berkuasa bernama Mayadanawa. Dengan kesaktiannya, Mayadenawa
mampu berubah wujud menjadi apa saja.
Mayadenawa menguasai daerah yang luas meliputi Makasar, Sumbawa, Bugis, Lombok dan Blambangan. Raja ini terkenal kejam dan tidak mengijinkan rakyatnya untuk memuja dewa serta menghancurkan semua pura yang ada. Rakyat tidak berani melawan karena
kesaktian Mayadenawa.
Lalu tersebut pula seorang pendeta bernama Mpu Kulputih. Beliau yang sedih melihat melihat kondisi rakyat akhirnya melakukan tapa/semedi di Pura Besakih memohon petujuk para Dewa untuk mengatasi Mayadenawa. Dewa Mahadewa kemudian memerintahkan beliau pergi menuju Jambu Dwipa (India) untuk meminta bantuan.
Singkat cerita, bantuan pasukan datang dari India dan kahyangan untuk memerangi Mayadenawa dipimpin oleh Dewa Indra. Namun Mayadenawa sudah mengetahui kedatangan pasukan ini berkat banyaknya mata-mata. Perang dashyat pun terjadi dengan korban berjatuhan di kedua belah pihak.
Akhirnya pasukan Mayadenawa kocar-kacir dan melarikan diri meninggalkan sang raja raksasa. Namun Mayadenawa belum mau menyerah begitu saja. Pada malam hari di saat jeda perang, Mayadenawa diam-diam menyusup ke tempat pasukan kahyangan dan memberi racun pada sumber air mereka. Agar tidak ketahuan, Mayadenawa berjalan hanya dengan menggunakan sisi kakinya. Tempat inilah yang kemudian dikenal dengan Tampak Siring.
Mayadenawa menguasai daerah yang luas meliputi Makasar, Sumbawa, Bugis, Lombok dan Blambangan. Raja ini terkenal kejam dan tidak mengijinkan rakyatnya untuk memuja dewa serta menghancurkan semua pura yang ada. Rakyat tidak berani melawan karena
kesaktian Mayadenawa.
Lalu tersebut pula seorang pendeta bernama Mpu Kulputih. Beliau yang sedih melihat melihat kondisi rakyat akhirnya melakukan tapa/semedi di Pura Besakih memohon petujuk para Dewa untuk mengatasi Mayadenawa. Dewa Mahadewa kemudian memerintahkan beliau pergi menuju Jambu Dwipa (India) untuk meminta bantuan.
Singkat cerita, bantuan pasukan datang dari India dan kahyangan untuk memerangi Mayadenawa dipimpin oleh Dewa Indra. Namun Mayadenawa sudah mengetahui kedatangan pasukan ini berkat banyaknya mata-mata. Perang dashyat pun terjadi dengan korban berjatuhan di kedua belah pihak.
Akhirnya pasukan Mayadenawa kocar-kacir dan melarikan diri meninggalkan sang raja raksasa. Namun Mayadenawa belum mau menyerah begitu saja. Pada malam hari di saat jeda perang, Mayadenawa diam-diam menyusup ke tempat pasukan kahyangan dan memberi racun pada sumber air mereka. Agar tidak ketahuan, Mayadenawa berjalan hanya dengan menggunakan sisi kakinya. Tempat inilah yang kemudian dikenal dengan Tampak Siring.
Pagi harinya, pasukan kahyangan meminum air dan
keracunan. Dewa Indra tahu racun berasal dari sumber air, sehingga beliau menciptakan
mata air baru yang sekarang dikenal dengan Tirta Empul. Berkat Tirta empul,
semua pasukan yang keracunan bisa pulih kembali. Sungai yang terbentuk dari
Tirta Empul kemudian dikenal dengan nama Tukad Pakerisan.
Dewa Indra mengejar Mayadenawa yang nelarikan diri dengan pembantunya. Dalam pelarian, Mayadenawa sempat mengubah wujudnya menjadi Manuk Raya (burung besar). Tempatnya berubah wujud sekarang dikenal dengan Desa Manukaya.
Namun Dewa Indra terlalu sakti untuk dikelabui sehingga selalu mengetahui keberadaan Mayadenawa walaupun sudah berubah wujud berkali-kali. Sampai akhirnya Dewa Indra mampu membunuh Mayadenawa. Darah Mayadenawa mengalir dan menjadi sungai yang dikenal dengan Tukad Petanu.
Sungai ini konon telah dikutuk. Bila airnya digunakan untuk mengairi sawah, padi akan tumbuh lebih cepat namun darah akan keluar di saat panen dan mengeluarkan bau. Kutukan akan berakhir setelah 1000 tahun.
Kemenangan Dewa Indra atas Mayadenawa kemudian menjadi simbol kemenangan kebaikan (Dharma) melawan kejahatan (Adharma) yang diperingati sebagai Hari Galungan.
Pada Hari Raya Galungan, ada tradisi untuk membuat Penjor. Penjor adalah simbol dari Gunung sekaligus simbol dari keberadaan para Dewa. Penjor berbentuk seperti umbul-umbul dengan bahan tiang dari bambu dan hiasan utama janur, padi, kelapa, buah serta hasil-hasil bumi lainnya. Ini sebagai simbol bahwa semua hasil bumi yang kita nikmati berasal dari Tuhan. Penjor biasanya dibuat sehari sebelum Galungan(ceritadewata.blogspot.com).
Dewa Indra mengejar Mayadenawa yang nelarikan diri dengan pembantunya. Dalam pelarian, Mayadenawa sempat mengubah wujudnya menjadi Manuk Raya (burung besar). Tempatnya berubah wujud sekarang dikenal dengan Desa Manukaya.
Namun Dewa Indra terlalu sakti untuk dikelabui sehingga selalu mengetahui keberadaan Mayadenawa walaupun sudah berubah wujud berkali-kali. Sampai akhirnya Dewa Indra mampu membunuh Mayadenawa. Darah Mayadenawa mengalir dan menjadi sungai yang dikenal dengan Tukad Petanu.
Sungai ini konon telah dikutuk. Bila airnya digunakan untuk mengairi sawah, padi akan tumbuh lebih cepat namun darah akan keluar di saat panen dan mengeluarkan bau. Kutukan akan berakhir setelah 1000 tahun.
Kemenangan Dewa Indra atas Mayadenawa kemudian menjadi simbol kemenangan kebaikan (Dharma) melawan kejahatan (Adharma) yang diperingati sebagai Hari Galungan.
Pada Hari Raya Galungan, ada tradisi untuk membuat Penjor. Penjor adalah simbol dari Gunung sekaligus simbol dari keberadaan para Dewa. Penjor berbentuk seperti umbul-umbul dengan bahan tiang dari bambu dan hiasan utama janur, padi, kelapa, buah serta hasil-hasil bumi lainnya. Ini sebagai simbol bahwa semua hasil bumi yang kita nikmati berasal dari Tuhan. Penjor biasanya dibuat sehari sebelum Galungan(ceritadewata.blogspot.com).
SASTRA SASTRA SUCI
YANG MENDASARI GALUNGAN
lontar
Purana Bali Dwipa, dengan menyebutkan :
“Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka,
Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali
rajya.”
Artinya:
Perayaan (upacara) Hari
Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Du
ngulan
sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.
Menurut
lontar Sunarigama makna Galungan dijelaskan sebagai berikut:
“Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis
ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep.”
Artinya:
Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan
ber-satunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan
segala kekacauan pikiran.
MAKNA FILOSOFI HARI RAYA GALUNGAN
Pemaknaan hari raya Galungan
demikian beraneka ragam di rayakan oleh penganut agama Hindu di Nusantara.
Sebagian yang terjadi saat ini perayaan hari raya Galungan dengan bersembahyang
di pura, mebanten di ladang/sawah/kebun dan bersimekrame dengan keluarga,
tetangga dan lingkungan. Dikalangan usia anak-anak Galungan di peringati dengan
memakai sesuatu yang baru, misalkan baju baru, celana baru dan sebagainya. Ada
juga mengisi hari besar ini dengan bermain-main dan bertamasya.
Pada hakekatnya perayaan hari raya
galungan bermakna :
·
Kemenangan atas
penundukan Sad Ripu (6 sifat kegelapan dalam diri)
·
Simbolisasi
penghaturan mahasuksme/puji syukur kepada Tuhan
·
Penerangan rohani
yang suci yang terbebas dari kekacauan
·
Pengucapan mahasuksme
dan penghargaan serta penghoramatan kepada manusia, alat-alat bantu kegiatan,
tumbuhan, hewan, dan semua yang ada di alam semesta ini.
Macam - Macam Galungan
A. Galungan
Di dalam lontar Sundarigama menyebutkan pada Budha
Kliwon wuku Dungulan disebut hari raya Galungan.
B. Galungan Nadi
Apabila Galungan jatuh pada bulan Purnama disebut
Galungan Nadi, umat Hindu melaksanakan tingkatan upacara yang lebih utama.
Berdasarkan Lontar Purana Bali Dwipa bahwa Galungan jatuh pada sasih kapat (kartika)
tanggal 15 (purnama) tahun 804 saka Bali bagaikan lndra
Loka ini menandakan betapa meriahnya dan sucinya hari raya itu.
C. Galungan Naramangsa.
Dalam Lontar Sanghyang Aji
Swamandala mengenai Galungan Naramangsa disebutkan apabila Galungan jatuh pada
Tilem Kapitu dan sasih Kasanga rah 9, tengek 9, tidak dibenarkan merayakan hari
raya Galungan dan menghaturkan sesajen berisi tumpeng seyogyanya umat
mengadakan caru berisi nasi cacahan dicampur ubi keladi, bila melanggar akan
diserbu oleh Balagadabah.
RENTETAN HARI RAYA
GALUNGAN
Semua
hari raya pasti ada persiapan ataupun tahapannya dalam menyambutnya. Dalam
menyambut hari raya Galungan tidak hanya merayakan dalam satu hari saja, namun
jauh hari sebelumnya sudah ada tahapannya. Dalam wewaran/wariga/sistem kalender
hindu di nusantara hari raya Galungan memiliki berepa tahapan acara dan hari
khusus. Berikut tahap-tahapan hari raya Galungan :
1.
Tumpek Pengarah atau Pengatag,
Pada Saniscara kliwon wuku wariga/Tumpek atag/Tumpek
Bubuh atau hari Sabtu Kliwon Minggu Wariga Tepatnya 25 hari sebelum Hari Raya
Galungan dan persembahan ditujukan kepada dewa Sankara (nama lain Dewa
Siva)sebagai penguasa tumbuh-tumbuhan dengan mempersembahkan sesaji pada
pohon-pohon kayu yang menghasilkan buah, daun, dan bunga yang akan digunakan
pada Hari Raya Galungan. Hari suci erat kaitanya dengan ajaran Tri Hita karana
yang ketiga yaitu Palemahan/hubungan baik kepada tumbuh-tumbuhan, tanaman dan
lingkungan hidup.
2.
Sugihan
Jawa
Pada wrespati wage
wuku Sungsang/Kamis Wage minggu Sungsang atau 6 hari sebelum hari raya Galungan.
Kata Sugihan berasal dari urat kata Sugi yang artinya membersihkan dan Jaba
artinya luar, jadi pada hari ini
menyucikan pembersihan Bhuana Agung - sekala-niskala.
Dalam lontar Sundarigama dijelaskan:
bahwa Sugihan Jawa merupakan "Pasucian dewa kalinggania pamrastista
bhatara kabeh" (pesucian dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara).
Pelaksanaan upacara ini dengan membersihkan alam lingkungan, baik pura, tempat
tinggal, dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci. Dan yang
terpenting adalah membersihkan badan phisik dari debu kotoran dunia maya, agar layak dihuni oleh Sang Jiwa Suci
sebagai Brahma Pura.
3.
Sugihan Bali
Jatuh pada hari Sukra Kliwon wuku Sungsang/Jumat
Kliwon Minggu Sungsang (sehari setelah Sugihan Jawa/lima hari sebelum Galungan).
Bali dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada dalam diri. Jadi Sugihan
Bali memiliki makna yaitu menyucikan diri sendiri, sesuai dengan lontar
Sundarigama:
"Kalinggania amrestista raga
tawulan"
(oleh karenanya menyucikan badan jasmani-rohani
masing-masing /mikrocosmos) yaitu dengan memohon tirta pembersihan
/penglukatan.
Manusia tidak
saja terdiri dari badan phisik tetapi juga badan rohani (Suksma Sarira dan
Antahkarana Sarira). Persiapan phisik dan rohani adalah modal awal yang harus
diperkuat sehingga sistem kekebalan tubuh ini menjadi maksimal untuk menghadapi
musuh yang akan menggoda pertapaan kita.
4.
Panyekeban
Jatuh pada Radite Pahing wuku Dungulan/Minggu
Pahing Dungulan, tiga hari sebelum Galungan. Panyekeban artinya mengendalikan
semua indrya dari pengaruh negatif, karena hari ini Sangkala Tiga Wisesa turun
ke dunia untuk mengganggu dan menggoda kekokohan manusia dalam melaksanakan
Hari Galungan. Dalam Lontar Sunarigama disebutkan :
"Anyekung Jnana"
artinya
mendiamkan
pikiran agar tidak dimasuki oleh Bhuta Galungan dan juga disebutkan
"Nirmalakena" (orang yang pikirannya yang selalu suci) tidak akan
dimasuki oleh Bhuta Galungan
Melihat pesan Panyekeban ini
mewajibkan umat Hindu untuk mulai melaksanakan Brata atau Upavasa sehingga
pemenuhan akan kebutuhan semua Indriya tidak jatuh kedalam kubangan dosa; pikirkan
yang baik dan benar, berbicara kebenaran, berprilaku bijak dan bajik, mendengar
kebenaran, menikmati makanan yang sattvika, dan yang lain, agar tetap memiliki
kekuatan untuk menghalau godaan Sang mara.
Jadi tidak hanya nyekeb pisang (biu) atau tape untuk bebantenan saja.
5.
Penyajaan
Jatuh pada Soma
Pon Wuku Dungulan/Senin Pon Dungulan atau dua hari sebelum Galungan. Pada hari
ini umat mengadakan Tapa Brata Yoga Samadhi dengan pemujaan kepada Ista Dewata.
Penyajaan dalam lontar Sundarigama disebutkan :
"Pangastawaning Sang Ngamong Yoga Samadhi"
upacara ini dilaksanakan pada hari Senin Pon Dungulan. Dengan Wiweka dan
Winaya, manusia Hindu diajak untuk dapat memilah kemudian memilih yang mana
benar dan salah. Bukan semata-mata membuat kue untuk upacara.
6.
Penampahan
Jatuh pada Anggara
Wage wuku Dungulan/Selasa Wage Dungulan tepat sehari sebelum hari Raya
Galungan. Penampahan berasal dari kata tampah atau sembelih artinya ; bahwa
pada hari ini manusia melakukan pertempuran melawan Adharma, atau hari untuk
mengalahkan Bhuta Galungan dengan upacara pokok yakni Mabyakala yaitu memangkas
dan mengeliminir sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri, bukan semata-mata
membunuh hewan korban, karena musuh sebenarnya ada di dalam diri (Sad Ripu, Sad
Atatayi, Sapta Timira, dll), dan bukan di luar diri kita termasuk sifat- sifat
hewani tersebut.
Ini
sesuai dengan lontar Sundarigama yaitu ;
"Pamyakala
kala malaradan".
Inilah
puncak dari Brata dan Upavasa umat Hindu, bertempur melawan semua bentuk
Ahamkara - kegelapan yang bercokol dalam diri.
Hari Penampahan Galungan inilah yang pada dewasa ini
paling kehilangan makna spiritualnya yang paling penting. Konsentrasi
kebanyakan keluarga membuat makanan yang enak-enak. Padahal ada upakara penting
di Madya Mandala untuk Memohon Tirta dari Luhuring Akasa dalam rangka me-nyomia
Buta Kala di Bhuana Agung dan Bhuana Alit yang sering terlewatkan. Selama ini
justru sebagain besar dari kita malah berpesta pora makan, lupa terhadap jati
diri, menikmati makanan, mabuk. Sehingga bukan Nyomya Bhuta Kala- Nyupat Angga
Sarira, malah kita akhirnya menjelma jadi Bhuta itu sendiri.
Pada hari ini umat Hindu yang akan
menyambut hari kemenangan membuat penjor sebagai pangastawa kepada Ida
SangHyang Widi Wasa dan ucapan rasa syukur. Umat hindu-Bali mengenal 2 (dua)
penjor yaitu penjor sakral/keagamaan dan penjor hiasan, dalam perayaan hari
raya Galungan memakai penjor sakral. Definisi Penjor menurut I.B. Putu
Sudarsana dimana Kata Penjor berasal dari kata “Penjor”, yang dapat diberikan
arti sebagai, “Pengajum”, atau “Pengastawa”, kemudian kehilangan huruf sengau,
“Ny” menjadilah kata benda sehingga menjadi kata, “Penyor” yang mengandung
maksud dan pengertian, ”Sebagai Sarana Untuk Melaksanakan Pengastawa”. Penjor
melambangkan kemenangan Dharma atas adharma atau juga simbul dari gunung yang
selalu memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakat.
Penjor di buat dari bambu yang
melengkung/bambu utuh yang sudah di bersihkan dari daunya lalu di hiasi dengan
daun kelapa/janur atau bisa juga dau lontar. Berikut cara membuat penjor : sebatang
bambu yang ujungnya melengkung, dihiasi dengan janur/daun enau yang muda serta
daun-daunan lainnya (plawa). Perlengkapan penjor Pala bungkah (umbi-umbian
seperti ketela rambat), Pala Gantung (misalnya kelapa, mentimun, pisang, nanas
dll), Pala Wija (seperti jagung, padi dll), jajan, serta sanggah Ardha Candra lengkap
dengan sesajennya. Pada ujung penjor digantungkan sampiyan penjor lengkap
dengan porosan dan bunga.
Sanggah
Penjor Galungan mempergunakan Sanggah Ardha Candra yang dibuat dari bambu,
dengan bentuk dasar persegi empat dan atapnya melengkung setengah lingkaran
sehingga bentuknya menyerupai bentuk bulan sabit.Adapun makna dari unsur-unsur
penjor sebagai berikut :
1. Kain
putih yang terdapat pada penjor sebagai simbol kekuatan Hyang Iswara.
2. Bambu
sebagai simbol dan kekuatan Hyang Brahma.
3.
Kelapa sebagai
simbol kekuatan Hyang Rudra.
4. Janur
sebagai simbol kekuatan Hyang Mahadewa.
5. Daun-daunan
(plawa) sebagai simbol kekuatan Hyang Sangkara.
6. Pala
bungkah, pala gantung sebagai simbol kekuatan Hyang Wisnu.
7. Tebu
sebagai simbol kekuatan Hyang Sambu.
8. Sanggah
Ardha Candra sebaga: simbol kekuatan Hyang Siwa.
9. Upakara
sebagai simbol kekuatan Hyang Sadha Siwa dan Parama Siwa.
10.
Galungan
Tepat pada Budha Kliwon wuku Dungulan/Rabu Kliwon wuku
Dungulan, Hari ini adalah puncak
perayaan yang merupakan hari kemenangan Dharma terhadap Adharma setelah
berhasil mengatasi semua godaan selama perjalan hidup ini, dan merupakan titik
balik agar manusia senantiasa mengendalikan diri dan berkarma sesuai dengan Dharma
dalam rangka meningkatkan kualitas hidup dan dalam usaha mencapai anandam atau
jagadhita dan moksa serta shanti dalam hidup sebagai mahluk yang berwiweka.
Umat Hindu pada hari ini melakukan persembahyangan di pura mrajan/keluarga,
desa, dan lain-lain. Dilanjutkan dengan mebanten alat-alat bantu seperti alat transportasi,
alat bekerja, alat elektronik dan mebanten di ladang/sawah atau tempat lainnya.
11.
Umanis Galungan
Setelah merayakan kemenangan , pada hari wrespati
umanis wuku Dungulan/Kamis umanis minggu Dungulan, manusia merasakan nikmatnya (manisnya)
kemenangan dengan mengunjungi sanak saudara mesima-krama dengan penuh
keceriaan, berbagi suka cita, mengabarkan ajaran kebenaran betapa nikmatnya
bisa meneguk kemenangan. Jadi pada hari ini umat Hindu wajib
mewartakan-menyampaikan pesan Dharma kepada semua manusia inilah misi umat
Hindu Dharma. Cara menyampaikan ajaran kebenaran adalah dengan Satyam Vada
yaitu mengatakan dengan kesungguhan dan kejujuran.
12.
Pemaridan Guru
Jatuh pada Saniscara Pon wuku Dungulan/Sabtu Pon
Dungulan, maknanya pada hari ini dilambangkan dengan kembalinya Dewata-dewati,
pitara-pitari, para leluhur ke tempat payogannya masing-masing dan meninggalkan
anugrah berupa kadirgayusan yaitu ; hidup sehat umur panjang, dan hari ini umat
menikmati waranugraha dari dewata. Di beberapa daerah dibali biasanya dilakukan
dengan sarana banten "tegen-tegenan" yang berisi hasil bumi berupa
padi, buah-buahan dan aneka rupa jajanan yang tujuannya diperuntukkan untuk
memberikan bekal kepada para leluhur yang akan mantuk kembali ke Sunya Loka.
13.
Pemacekan Agung
Jatuh pada hari
Soma Kliwon wuku Kuningan. Tepat pada hari ini merupakan hari pertengahan dari
rangkaian panjang hari raya Galungan. Hari ini tepat 30 hari dari sejak hari
Tumpek Pengarah, dan 30 hari menjelang hari Pegat Uwakan (Budha Kliwon Pahang).
Pada hari ini umat menancapkan dan meneguhkan tekadnya kehadapan Ida Sang Hyang
Widhi Wasa dalam menghadapi dan mengarungi kehidupan selanjutnya dengan
senantiasa berjalan dalam koridor dharma. Pada hari ini dibeberapa wilayah
dibali dilakukan persembahyangan dengan sarana raka ajengan tipat pesor sebagai
rasa syukur dan sembah bakti kehadapanNya.
14.
Kuningan.
Jatuh di Saniscara Kliwon Wuku Kuningan, Pada Hari ini
diyakini bahwa para dewata dan roh-roh leluhur akan turun ke marcapada/mayapada
untuk menerima sembah bakti umat dan prati sentananya dengan segala cinta
kasihnya, dan pada siang harinya para dewata dan roh suci leluhur kembali
menuju kahyangan stana-nya masing-masing yang diyakini tempatnya di svargaloka
(alam sorga). Kuningan merupakan hari kasih sayang, yang disimbulkan melalui
berbagai pratika upakara seperti: tamiang, koleman, sulangi, tebo, dan
endongan.
15.
Budha Kliwon Pahang
Rangkaian perayaan Galungan dan Kuningan berkahir pada
Budha Kliwon Pahang/Rabu Kliwon wuku Pahang yang sering disebut hari raya Pegat
Uwakan. Pada hari ini umat melakukan persembahyangan mengahturkan suksmaning
manah lan idep kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas karunia dan wara
nugrahanya bisa melaksanakan rangkaian perayaan hari Raya Galungan dengan sempurna.
Penjor yang sudah terpasang itu kemudian di cabut dan disisanya dibakar lalu
abu nya di taruh di kelapa yang kecil (bungkak) untuk selanjutnya di tanam di
pekarangan rumah.
PENUTUP
KESIMPULAN
Hari raya Galungan
adalah adalah Ngaturang
paramasuksmaning idép/menghaturkan puji syukur dan terimakasih tak terhingga
kepada Ida Sanghyang widi Wasa atas angayubagya, waranugraha yang kita
miliki dan merayakan Kemenangan atas peperangan/pertempuran Dharma/kebenaran melawan Adharma baik dalam
diri, dunia, dan alam semesta yang jatuh pada hari Budha Kliwon wuku Dungulan/
Rabu Kliwon minggu Dungulan.
SARAN
1. Hendaknya
hari raya Galungan yang di artikan kemenangan tidak di salah gunakan fungsinya.
2. Umat
hindu hendaknya tidak berpoya-poya, memaksakan, dan melencengkan fungsinya
karena kemenangan yang telah tercapai.
3. Merayakan
hari raya Galungan penuh bhakti dan tidak membawa kebiasaan buruk kepada
lingkungan.
4. Hari
raya Galungan adalah simbulisasi akan kemenangan, namun peperangan masih
terjadi dalam diri individu manusia itu sendiri setiap waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar