Sabtu, 12 Oktober 2013

NAMA & GELAR ORANG BALI

SISTEM PENAMAAN DAN GELAR  DALAM SUKU BALI
            AUM SWASTYASTU,
            “Apalah arti sebuah nama”, itu yang sering kita dengar pada saat orang menyebutkan identitasnya. “gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama.” Sebuah pribahasa yang mengajarkan nilai etika moral yang sangat tinggi bagi pembacanya. “Nama seseorang bisa menetukan nasib hidupnya.” Sebuah kalimat penuh makna akan arti sebuah nama. Begitu pentingnya sebuah nama untuk seseorang menjadikan pemberian nama adalah sakral dan sangat berarti. Indonesia atau nusantara yang multikultur ini di huni oleh banyak etnis, suku, agama, ras dan golongan. Setiap suku mempunyai keunikan dalam segi bahasa, adat istiadat, cara berpikir dan upacara yang berbeda-beda pula, termasuk dalam memberikan nama-nama bagi generasi penerusnya. Suku di Indonesia memberikan nama berdasarkan golongan strata di masyarakat, marga, wilayah, urutan keturunan, gelar bangsawan, agama, artis  dan sebagainya. Berikut nama-nama yang ada di indonesia :
·         Tengku, Teuku, Cut dari D. I Aceh
·         Sitompul, Sitanggang, Marpaung dari Sumatera Utara
·         Sri sultan hemengkubuwono, Raden mas, Raden Ayu dari D. I Yogjakarta
·         Kei dari maluku utara
·         Ida bagus/Ida ayu, Dewa putu,Anak agung, I gusti dan sebagainya(warna) dari Bali
·         Wayan, Made, Nyoman, Ketut, Nengah dan sebagainya dari Bali
·         Dan lain-lain

Dalam tulisan ini akan membahas sistem penamaan pada masyarakat Bali (suku Bali).  Pengaruh Hindu yang sangat kuat  di bali sangat mempengaruhi sistem penamaan  masyarakatnya. Suku Bali dalam memberikan nama berdasarkan warna, gelar kerajaan dan urutan kelahiran dalam sebuah keluarga, Namun dominan memberikan nama berdasarkan urutan kelahiran pada sebuah keluarga. Satu persatu akan di bahas berdasarkan kelompoknya berikut artinya :

1.     Pemberian nama berdasarkan Warna
Warna adalah pengelompokan masyarakat berdasarkan fungsi/profesi dalam kehidupan sehari-hari. Namun warna tidak dikenal dikalangan masyarakat Bali sekarang ini, mereka (Bali) lebih mengenal istilah Kasta (penggelompokan turun temurun berdasarkan profesi yang di buat oleh belanda). Sebagian besar Masyarakat nusantara lebih mengenal Kasta di bandingkan dengan Warna. Sebenarnya pengelompokan Warna menjadi Kasta itu tidak benar, itu hanya politik Hindia-Belanda untuk menaklukan  dan menguasai Bali.
Kata "Kasta" berasal dari bahasa Portugis "Caste" yang berarti pemisah, tembok, atau batas. Timbulnya istilah kasta dalam masyarakat Hindu adalah karena adanya proses sosial (perkembangan masyarakat) yang mengaburkan pengertian warna. Pengaburan pengertian warna ini melahirkan tradisi kasta yang membagi tingkatan seseorang di masyarakat berdasarkan kelahiran dan status keluarganya. “Caste” dalam bahasa Portugis juga berarti struktur sosial yang berjenjang dalam feodalisme dimana untuk kepentingan status-quo telah menyimpangkan filosofi Warna.
Istilah "kasta" tidak diatur di dalam kitab suci Weda. Kata "Kasta" itu sendiri dalam bahasa Sanskerta berarti "kayu".
 Portugis memakai istilah kasta untuk memecah belah kerajaan Bali agar bisa di kuasai. Warna (fungsional) yang di sebutkan dalam Veda adalah catur Warna (empat kelompok berdasarkan keahlian, fungsional dan profesi) yaitu :
a.       Brahmana
Brahmana adalah seseorang yang ahli dalam bidang agama yang berfungsi sebagai rohanian dan memimpin upacara, seperti Pendeta, Ida Bedanda dan sebagainya dan di beri gelar Ida Bagus untuk Pria dan Ida Ayu untuk Wanita.  Namun pemberian gelar itu juga di barengi dengan urutan nama. Rumusnya (gelar+urutan lahir+nama pemberian orang tua) contoh Ida Bagus :
·         Ida Bagus Putu  Widyana/ Ida Ayu Putu Maharani (bagi anak pertama)
·         Ida bagus Made Iriawan/ Ida Ayu Made Indriani (bagi anak kedua)
·         Ida Bagus Nyoman Mahendra/ Ida Ayu Komang Widyadari (bagi anak ketiga)
·         Ida Bagus Ketut Budiawan/ Ida Ayu Ketut Apsari Dewi (bagi anak keempat)
·         Bila mempunyai keturunan lebih dari 4 (empat) maka akan kembali pada formasi yang pertama dilanjutkan yang kedua begitu seterusnya.
b.      Ksatrya
Ksatrya adalah pengelompokan warna berfungsi sebagai abdi negara, senopati, prajurit atau kaum pertahanan kerajaan lainnya. Ksatrya di beri gelar Anak Agung (laki-laki) dan Anak Agung Ayu (perempuan), sekarang ini di ikuti dengan urutan kelahiran dalam sebuah keluarga. Rumusnya (gelar+urutan lahir+nama pemberian orang tua), contoh :
·         Anak Agung Putu Widyana/ Anak Agung Ayu Maharani (bagi anak pertama)
·         Anak Agung Made Iriawan/ Anak Agung Ayu made Indriani (bagi anak kedua)
·         Anak Agung Nyoman Mahendra/ Anak Agung Ayu Komang Widyadari (bagi anak ketiga)
·         Anak Agung Ketut/ Anak Agung Ayu Ketut Apsari Dewi (bagi anak keempat)
·         Bila mempunyai keturunan lebih dari 4 (empat) maka akan kembali pada formasi yang pertama dilanjutkan yang kedua begitu seterusnya.
c.       Wasya
Waysa adalah warna ketiga yang berfungsi sebagai penggerak ekonomi, pembangunan dan perindustrian, seperti pedagang, saudagar dan penguasa. Ada sumber yang menulis gelar Waysa itu adalah I gusti, namun dari I Gusti sendiri mereka menggolongkan dirinya kedalam warna Ksatrya. Pemberian namanya yakni (Urutan kelahiran keluarga+nama pemberian nama), contoh :
·         I wayan Widyana
·         I Made iriawan
·         I komang Mahendra
·         I Ketut Budiawan
·         Bila mempunyai keturunan lebih dari 4 (empat) maka akan kembali pada formasi yang pertama dilanjutkan yang kedua begitu seterusnya.

d.      Sudra
Sudra adalah warna keempat yang fungsionalnya melayani ketiga warna di atas. Bila dikaitkan dengan profesi sekarang Sudra adalah kaum buruh dan tenaga kerja lainnya. Tidak ada gelar Khusus untuk mereka hanya untuk membedakan lelaki dan perempuan terletak pada nama depan nya (I) laki-laki dan (Ni) perempuannya. Rumusnya sama seperti Klasifikasi Waysa.

2.     Pemberian nama berdasarkan gelar kerajaan
Dasar yang kedua untuk pemberian nama di Bali adalah berdasarkan keturunan kerajaan/Puri. Puri di pulau Bali adalah nama sebutan untuk tempat tinggal bangsawan Bali, khususnya mereka yang masih merupakan keluarga dekat dari raja-raja Bali. Berdasarkan sistem pembagian triwangsa atau warna (fungsi) yaitu Brahmana, Ksatrya dan Wasya. maka puri ditempati oleh bangsawan berwangsa ksatria.
Puri-puri di Bali dipimpin oleh seorang keturunan raja, yang umumnya dipilih oleh lembaga kekerabatan puri. Pemimpin puri yang umumnya sekaligus pemimpin lembaga kekerabatan puri, biasanya disebut sebagai Penglingsir atau Pemucuk. Para keturunan raja tersebut dapat dikenali melalui gelar yang ada pada nama mereka, misalnya :
·         Ida bagus, I Gusti, Cokorda, Anak Agung Ngurah, Dewa Agung, Ratu Agung, Ratu Bagus dan lain-lain untuk pria; serta Cokorda Istri, Anak Agung Istri, Dewa Ayu, dan lain-lain untuk wanita.
·         Cokorda adalah gelar raja yang dominan di Bali, seperti : Cokorda Ngurah Ketut (1929–1939) [kemenakan Gusti Ngurah Agung], Cokorda Ngurah Gede (1944–wafat 1987) [anak Cokorda Ngurah Ketut] dan seterusnya.

3.     Pemberian Nama berdasarkan nomor urut kelahiran
Pada umumnya masyarakat kebanyakan dari berbagai suku memberi nama keturunan mereka dengan bahasa sansekerta, yakni Eka, Dwi, Tri dan seterusnya. Tapi tidak pada masyarakat suku Bali, walaupun pengaruh Hindu yang kuat Bali tetap mempunyai budaya yang sangat unik dalam sistem nama. Masyarakat Indonesia/nusantara sangat mengenal sistem nama pada suku Bali, bahkan menjadi ciri khas tersendiri bagi suku bali. Nama berdasarkan urutan kelahiran dalam keluarga ini di pakai pada semua warna, artinya sesungguhnya inilah sebenarnya sistem penamaan yang paling dominan dipakai untuk generasi penerus pada masyarakat suku Bali. Yang menjadi dasar pertama adalah jenis kelamin yaitu (I) laki-laki dan (Ni) perempuan. Berikut nama-namanya :

·         Anak Pertama (Wayan)
Nama Wayan berasal dari kata “wayahan" bahasa Bali  yang artinya yang paling matang.  Sehingga setiap mempunyai anak pertama dinamakan “Wayan”. Tapi tidak terpaku pada Wayan saja anak pertama di beri nama Putu, Gede, Luh khusus wanita. Jadi dasar pemberian namanya (Jenis kelamin+Wayan/Putu/Gede). Catatan nama anak pertama ada juga dibariskan seperti : Ni Luh Putu Wayan Eka Widyasari (perempuan).
·         Anak Kedua Made)
Titel anak kedua adalah Made yang berakar dari kata "Madya" (sansekerta) yang artinya tengah. Tetapi ada sinonim dari nama “Made” itu, yakni Kadek, dan Kade. Dalam memberi tergantung orang tua mau memilih yang mana, dasarnya sinonim dari urutan kelahiran tersebut.
·         Anak Ketiga (Nyoman)
Anak ketiga dipanggil Nyoman yang secara etimologis berasal dari kata "uman" yang bermakna “sisa” atau “akhir”. Jauh sebelum Program Keluarga berencana di galakan masyarakat sudah memperhitungkan tentang resiko dari program keturunan. Ideal dalam sebuah keluarga mempunyai anak cukup dua saja bila ada tiga, maka itu dianggap sisa-sisa. Nyoman juga mempunyai sinonim yaitu Komang.
·         Anak Keempat (Ketut)
Anak keempat dari keluarga Bali di panggil Ketut, yang berasal dari kata “Kitut” (jawa kuna) yang artinya “buntut” atau pengikut, ekor dan akhir. Namun Ketut tidak mempunyai sinonim nama seperti yang lain, karena di anggap ekor itu hanya satu, dirasa sangat istemewa dan pelengkap bila keluarga dalam suku Bali mempunyai anak yang bernama Ketut maka lengkap sudah silsilah keluarga tersebut. Dewasa ini keberadaan “Ketut” semakin sedikit atau yang bernama “Ketut” tersebut sudah semakin sedikit karena di zaman era globalisasi yang ekonomi makin sulit, tingginya biaya hidup, mahalnya pendidikan dan lain-lainnya membuat keluarga di Bali berpikir panjang untuk memiliki anak sampai bernama “Ketut”. Program yang dicanangkan pemerintah pada Desember 1957 di Jakarta semakin mempersempit niat sebuah keluarga untuk mempunyai anak 4 atau lebih. Dan Ketut adalah siklus terakhir sistem penamaan di suku Bali.Bila mempunyai anak Kelima dan seterusnya maka kembali ke Wayan, Made, Nyoman dan Ketut kembali.

Perkembangan sistem penamaan yang terjadi saat ini mengalami kendala pada anak ketiga (Nyoman) dan Keempat (Ketut). Banyak faktor-faktor yang menjadi kendala di lapangan  sistem penamaan suku Bali sebagai tradisi budaya yang bernilai tinggi, faktor-faktor tersebut adalah :
·         Program Keluarga berencana Pemerintah
·         Mahalnya biaya hidup
·         Susah mencari lahan dan lapangan kerja
·         Mahalnya biaya Pendidikan
·         Mahalnya biaya Upacara adat

Sistem Penamaan yang merupakan warisan budaya, tradisi dan ciri khas bagi suku Bali yang bernilai tinggi harus tetap di lestarikan. Tindakan untuk melestarikan budaya tidak semudah membalikan telapak tangan, banyak kendala intern dan ekstern yang dihadapi. Kendala lainnya adalah masalah ekonomi, pendidikan, lahan pekerjaan, adat istiadat dan sebagainya membuat tumpang tindihnya sebuah pelestarian budaya. Hendaknya kita harus bijaksana dalam menyikapi problema/masalah budaya ini. Kerjasama semua pihak dari kesadaran pribadi sebagai suku Bali yang mempunyai warisan budaya sistem penamaan yang merupakan ciri khas Bali merupakan hal terpenting, baik juga adat istiadat yang dirasa rumit bagi yang belum dimengerti.
Perlu adanya gerakan resmi atau semacam penggagas untuk mengingatkan tentang Masalah terancam sistem penamaan. Penulis dalam hal ini karena merasa bagian dari masalah ingin mengajak semua pihak baik perorangan, perkumpulan dan petinggi adat suku Bali untuk mengkampanyekan pelestarian sistem penamaan ini. Penulis dengan kekuatan terbatas sudah merintis “Apei”K” (Aliansi Peduli Ketut) untuk mlestarikan sistem penamaan yang sangat bernilai tinggi dan berciri khas ini. Semoga dengan adanya gerakan ini“Apei”K” (Aliansi Peduli Ketut)  dapat memberitakan, memberi info, penyampaian pesan, dan pembangkit semangat bagi masyarakat suku Bali dimana pun berada supaya tergugah hatinya untuk tetap menjaganya.

AUM SANTIH, SANTIH, SANTIH AUM

Senin, 07 Oktober 2013

KAKAWIN RAMAYANA III. 63 MAHADIRTHASUSASTRA


MAKNA DAN ARTI SLOKA KAKAWIN RAMAYANA III. 63  DALAM BERMAYARAKAT, BERBANGSA DAN BERNEGARA
Zaman  reformasi  adalah  zaman  kebebasan dalam berpendapat dan berekspresi  namun prakteknya dalam kehidupan sehari penuh dengan gesekan antara paham, suku agama , ras dan golongan. Kurang mengerti akan kebebasan membuat individu warga negara melanggar garis demokrasi dan melampuinya. Banyak tokoh-tokoh, Negaraqwan dan politikus yang selalu berorasi mengenai kebhenikaan dan perbedan. Perlu adanya dasar, wejangan, slogan yang mendasari agar perbedaan dan kebebasan  itu dapat berjalan seiring  nilai-nilai UUD 1945, PANCASILA dan BHENEIKA TUNGGAL IKA. Dalam sastra HINDU yaitu kakawin RAMAYANA III. 63 adalah salah satu sastra yang memberikan makna mendalam dan sangat bernilai tinggi bila dihayati dan diaplikasikan dalam berbangsa dan bernegara.


 MAKNA SLOKA KAKAWIN RAMAYANA II. 36
Dalam kakawin Ramayana III. 36 di sebutkan :
Sangkaning wruh aji ginego
Nitijna cara kapuhara
Pandya acrya dwija pahayun
Gongentatah tikaganansih

Asal kepandaian itu adalah karena, pengetahuan itu dipatuhi,
Kebijaksanaan membawa sikap prilaku,
Para sarjana, para guru, dan para pendeta supaya dihormati
Besarkanlah olehmu kasih sayang itu
Kakawin ramayana III. 63

2.
Saya akan membahas per-kalimat sloka di atas baik arti dan makna,yaitu :
“Sangkaning wruh aji ginego”, yang artinya asal kepandaian itu adalah karena, pengetahuan itu sendiri. Kepandaian yang dimiliki seseorang itu berasal dari kedisiplinan akan ilmu pengetahuan, ilmu hukum dan ilmu agama. Semua yang di dapat dari ilmu pengetahuan dan sebagainya hendaknya di pergunakan untuk kepentingan umum, orang banyak, bangsa dan negara. Tidak melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku apalagi menyakiti orang lain, masyarakat dan negara. Hendaknya pula kepandaian tersebut tidak menjadi senjata yang berbahaya kepada orang lain demi kepentingan diri sendiri/pribadi. Jangan pula menyerang orang lain dengan kepintaran dan kepandaian untuk melumpuhkan lawan politik, atau pun untuk membela kepentingan tertentu. Itu sama saja tidak patuh kepada kepandaian sendiri.
“Nitijna cara kapuhara” artinya Kebijaksanaan membawa sikap prilaku, kebijaksanaan dalam bertindak tergantung dari kepandaian yang dimiliki, sejauh mana individu mempunyai wawasan/sudut pandang  yang berbeda pengertian akan posisinya, posisi orang lain/ hak-kewajibannya masing-masing. Banyak yang berpendapat bahwa seseorang yang bijaksana bisa di ukur kebijaksanaannya di lihat dari segi pendidikan, pengalaman dan budi pekertinya. Kebijaksanaan itu bisa seiiring dengan pancasila sila kedua  yang berbunyi “Kemanusian yang adil dan beadab.” Dan sila kelima yang berbunyi “ Keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia.” Dalam kaitanya hendaknya kita bisa memanusiakan manusia dan berprilaku adil kepada setiap orang, baik kepada bawahan, pimpinan dan lain lain. Jangan menyisipkan kepentingan pribadi dalam setiap langkah, jangan merasa terpandai dan arogansi dalam memimpin dan bersosialisasi.
“Pandya acrya dwija pahayun,” artinya Para sarjana, para guru, dan para pendeta supaya dihormati. Kacang lupa kulitnya itulah pribahasa bila seseorang lupa akan asal muasalnya. Penghormatan harus dilakukan kepada para sarjana, guru, dan pendeta karena golongan terpelajar yang memprosese seseorang menjadi pandai dan bijaksana. Terlebih lagi kepada guru, guru adalah sosok yang sangat berperan dalam pembentukan karakter dan kepandaian seseorang, bila engkau melawan guru engkau sudah di katakan alpaka guru suatu tidakan dosa yang tidak boleh dilakukan. Selanjutnya Pendeta adalah tempat menimbang suatu masalah yang sangat berat dan ruwet sehingga dapat menemukan solusi dari masalah itu.    
3.
“Gongentatah tikaganansih”, yang artinya Besarkanlah olehmu kasih sayang itu. Makna dari bait ini adalah semua tindakan yang dilakukan didasari oleh kasih sayang. Prema/ cinta kasih akan membawa kedamaian baik dari yang memberi maupun yang menerima. Dalam setiap kepemimpinan haruslah membutuhkan kasih sayang karena peran pemimpin sebagai bapak, guru dan kakak yang senantiasa menyayangi bawahannya dan anggotanya. Dengan memberikan kasih sayang akan sesama tentunya ikatan akan terbentuk, bila ada ikatan maka tali persaudaraan akan terbina dengan sendirinya. Dalam kata mutiara Hindu disebutkan slogan “Vasudeva kutumbakam” yang artinya semua mahkluk bersaudara. Dengan penerapan itu niscaya pemberian dan bhakti akan sesuatu akan menjadi suatu yang bernilai pula. Hendaknya jangan memberikan sesuatu dengan adanya sebab, memberi dengan maksud akan mengambil habis, memberi dengan cara pancingan, memberi dengan memikirkan untung maupun ruginya. Memberilah dengan tulus iklas tanpa ada maksud tertentu di balik semua itu. Dengan dasar tali persaudaraan semua beban akan terasa ringan.
            Dengan kepandaian yang berdisiplin pengetahuan membawa seseorang berprilaku bijaksana yang senantiasa menghormati para sarjana sebagai bahan pengkajian, menghormati gurunya sebagai panutan dan pengarah tujuan dan menghormati/menyucikan pendeta sebagai udara segar di dalam debu kotor.




 KAITANNYA KAKAWIN RAMAYANA III. 63 DENGAN UUD 1945, PANCASILA DAN BHINEIKA TUNGGAL IKA DALAM BERBANGSA DAN BERNEGARA
1.      Kaitanya kakawin Ramayana III. 63 dengan UUD 1945
Dalam undang-undang 1945 terdapat pasal-pasal yang menunjang nilai etika dan penerapannya dari kakawin Ramayana III. 63 tersebut diantaranya :
·         Pasal 27 (hukum)
(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan
      dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.
(2) Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
      kemanusiaan.
·         Pasal 28 (kebebasan berpendapat)
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan
dan sebaganya ditetapkan dengan undang-undang.
·         Pasal 29 (agama)
 (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
       masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
   Pasal 30 (pertahanan negara)
(1) Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara.
·         Pasal 31 (pendidikan)
            (1) Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran.
(2) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajaran nasional,yang diatur dengan undang-undang.
·         Pasal 32 (budaya)
Pemerintah memajukan kebudayaan nasional Indonesia.

  Kaitannya kakawin Ramayana III. 63 dengan Pancasila
Pancasila adalah dasar negara yang terdiri dari 5 (lima) sila. Pancasila sebagai pondasi dari kemajukan beragam suku, agama, ras dan golongan dalam menyangga negara kesatuan rebuplik indonesia.Hubungannya Pancasila dengan kakawin Ramayana III. 63 adalah :
·         Sila ke-5 (dua),yang berbunyi “Kemanusiaan yang adil dan beradab.” dalam hal ini prilaku kebijaksanaan dari pemimpin bangsa adalah bisa memanusiakan manusia, kebijaksanaan akan rayat yang dipimpinnya dengan tidak membeda-bedakan minoritas-mayoritas dan sebagainya.
·         Sila ke-5 (lima), yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Dalam hal ini kebijaksanaan yang di dapat dari kepatuhan akan pengetahuan dapat memberi rasa adil dan merata kepada seluruh rakyat dan penuh kasih sayang sehingga membawakemajuan, kemaamanan, dan  keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.


3.      Kaitannya kakawin ramayana III. 63 dengan Bheneika Tunggal Ika
Bheneika tunggal ika dalam kitab sutasoma karangan mpu tantular merupakan semboyan negara Republik Indonesia sangat tinggi nilainya. Berbeda-beda tetap satu jua gambaran kemajukan bangsa indonesia yang terdiri dari beberapa suku, agama, ras, golongan,etnis dan lainnya yang tergabung dalam satu negara kesatuan republik indonesia. Kebijaksanaan dari pengetahuan yang dipatuhi dan penuh kasih sayang kepada sesama dengan tidak menonjolkan perbedaan, bahkan perbedaan adalah warna akan sebuah karya hingga tercipta warna-warni yang serasi. Warna-warni dari kemajemukan suku, agama, ras dan golongan yang ada dapat selaras dan memperkokoh rasa persatuan dan kesatuan antara warga negara untuk keutuhan negara kesatuan republik Indonesia.







KESIMPULAN
            Kedisiplinan akan ilmu pengetahuan membuat seseorang berprilaku bijaksana dan memberikan bhakti cinta kasih kepada sesama tidak melupakan guru dan pendeta, berlaku adil dan senantiayasa menyayangi sesama yang sesuai UUD 1945, Pancasila dan Bheneika Tunggal Ika untuk kemajuan, kesahjetaraan, keadilan dan keutuhan Negara Kesatuan Rakyat Indonesia.
SARAN DAN KRITIK
            Hendaknya seorang pemimpin selalu menjunjung tinggi kebenaran berdasarkan keadilan dan kesetaraan sesama, tidak membeda-bedakan rakyat, tidak melupakan jasa para pendahulu, tidak mementingkan diri sendiri/suku/agama/ras/agama/golongan.

            Senantiasa memberi rasa adil dan kasih sayang dalam setiap tindakan untuk kemajuan, kesejahteraan, keadilan, dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.