Sabtu, 08 Maret 2014

HARI RAYA GALUNGAN

Kebanyakan umat Hindu melaksanakan hari raya Galungan dengan makn makanan lezat, bermain dan meriah, sejatinya merayakan galungan hendaknya dari dalam diri, lingkungan hingga ke alam semesta sehingga ada keseimbangan jagat raya terjaga selalu. Kemenangan Dharma (kebenaran) dari melawan Adharma (keburukan) dalam diri, dunia dan alam semesta secara skala dan niskala. Kemenangan hati nurani menaklukan sifat-sifat buruk dalam diri yang selalu datang tidak hanya dalam hitungan wewaran, namun setiap nafas berhembus sifat-sifat buruk dan jahat itu selalu datang dan memerangi kesucian kita setiap waktu.

PENGERTIAN GALUNGAN
Dalam bahasa sunda Galungan di artikan dengan peperangan/pergolakan/pertempuran. Dalam bahasa jawa kuno galungan berarti menang.  Galungan bersinonim dengan Dungulan (Bali) yang berarti menang juga. Hari raya Galungan jatuh pada Budha Kliwon wuku dungulan/ Rabu Kliwon Minggu Dungulan. Hari raya galungan di peringati 210 hari sekali atau 2 kali dalam setahun dalam hitungan kalender Bali. Wikipidia menyebutkan Galungan adalah adalah hari raya memperingati terciptanya alam semesta beserta isinya dan kemenangan Dharma (kebenaran)  melawan Adharma (kejahatan). Umat Hindu melakukan persembahan kehadapan Sang Hyang Widhi dan Dewa Bhatara/dengan segala manisfestasinya sebagai tanda puji syukur atas waranugrahanya serta untuk keselamatan selanjutnya Parisadha Hindu Dharma menyimpulkan, bahwa upacara Galungan mempunyai arti Pawedalan Jagat atau Oton Gumi . Galungan oleh  I Nyoman Dayuh, (UNHI - Dps) mengartikan sebagai  hari raya suci Hindu yang jatuh pada Budha Kliwon Dungulan berdasarkan hitungan waktu bertemu sapta wara dan panca wara. Umat Hindu dengan penuh rasa bhakti melaksanakan rangkaian hari raya suci Galungan dan Kuningan dengan ritual keagamaan. 
Jadi dapat ditarik kesimpulan Galungan adalah Ngaturang paramasuksmaning idép/menghaturkan puji syukur dan terimakasih tak terhingga kepada Ida Sanghyang widi Wasa atas angayubagya, waranugraha yang kita miliki dan merayakan Kemenangan atas peperangan/pertempuran  Dharma/kebenaran melawan Adharma baik dalam diri, dunia, dan alam semesta yang jatuh pada hari Budha Kliwon wuku Dungulan/ Rabu Kliwon minggu Dungulan.

SEJARAH GALUNGAN
Bagi masyarakat Bali, Hari Raya Galungan mempunyai cerita sendiri. Jaman dahulu tersebutlah seorang Raja keturunan Raksasa yang sangat sakti dan berkuasa bernama Mayadanawa. Dengan kesaktiannya, Mayadenawa mampu berubah wujud menjadi apa saja.
Mayadenawa menguasai daerah yang luas meliputi Makasar, Sumbawa, Bugis, Lombok dan Blambangan. Raja ini terkenal kejam dan tidak mengijinkan rakyatnya untuk memuja dewa serta menghancurkan semua pura yang ada. Rakyat tidak berani melawan karena 
kesaktian Mayadenawa.
Lalu tersebut pula seorang pendeta bernama Mpu Kulputih. Beliau yang sedih melihat melihat kondisi rakyat akhirnya melakukan tapa/semedi di Pura Besakih memohon petujuk para Dewa untuk mengatasi Mayadenawa. Dewa Mahadewa kemudian memerintahkan beliau pergi menuju Jambu Dwipa (India) untuk meminta bantuan.
Singkat cerita, bantuan pasukan datang dari India dan kahyangan untuk memerangi Mayadenawa dipimpin oleh Dewa Indra. Namun Mayadenawa sudah mengetahui kedatangan pasukan ini berkat banyaknya mata-mata. Perang dashyat pun terjadi dengan korban berjatuhan di kedua belah pihak.
Akhirnya pasukan Mayadenawa kocar-kacir dan melarikan diri meninggalkan sang raja raksasa. Namun Mayadenawa belum mau menyerah begitu saja. Pada malam hari di saat jeda perang, Mayadenawa diam-diam menyusup ke tempat pasukan kahyangan dan memberi racun pada sumber air mereka. Agar tidak ketahuan, Mayadenawa berjalan hanya dengan menggunakan sisi kakinya. Tempat inilah yang kemudian dikenal dengan Tampak Siring.
    
Pagi harinya, pasukan kahyangan meminum air dan keracunan. Dewa Indra tahu racun berasal dari sumber air, sehingga beliau menciptakan mata air baru yang sekarang dikenal dengan Tirta Empul. Berkat Tirta empul, semua pasukan yang keracunan bisa pulih kembali. Sungai yang terbentuk dari Tirta Empul kemudian dikenal dengan nama Tukad Pakerisan.

Dewa Indra mengejar Mayadenawa yang nelarikan diri dengan pembantunya. Dalam pelarian, Mayadenawa sempat mengubah wujudnya menjadi Manuk Raya (burung besar). Tempatnya berubah wujud sekarang dikenal dengan Desa Manukaya.

Namun Dewa Indra terlalu sakti untuk dikelabui sehingga selalu mengetahui keberadaan Mayadenawa walaupun sudah berubah wujud berkali-kali. Sampai akhirnya Dewa Indra mampu membunuh Mayadenawa. Darah Mayadenawa mengalir dan menjadi sungai yang dikenal dengan Tukad Petanu.

Sungai ini konon telah dikutuk. Bila airnya digunakan untuk mengairi sawah, padi akan tumbuh lebih cepat namun darah akan keluar di saat panen dan mengeluarkan bau. Kutukan akan berakhir setelah 1000 tahun.

Kemenangan Dewa Indra atas Mayadenawa kemudian menjadi simbol kemenangan kebaikan (Dharma) melawan kejahatan (Adharma) yang diperingati sebagai Hari Galungan.

Pada Hari Raya Galungan, ada tradisi untuk membuat Penjor. Penjor adalah simbol dari Gunung sekaligus simbol dari keberadaan para Dewa. Penjor berbentuk seperti umbul-umbul dengan bahan tiang dari bambu dan hiasan utama janur, padi, kelapa, buah serta hasil-hasil bumi lainnya. Ini sebagai simbol bahwa semua hasil bumi yang kita nikmati berasal dari Tuhan. Penjor biasanya dibuat sehari sebelum Galungan(ceritadewata.blogspot.com).
  
SASTRA SASTRA SUCI YANG MENDASARI GALUNGAN
 lontar Purana Bali Dwipa, dengan menyebutkan :
“Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.”
Artinya: 
Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Du
ngulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka.

Menurut  lontar Sunarigama makna Galungan dijelaskan sebagai berikut:
“Budha Kliwon Dungulan Ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep.”
Artinya:
Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan ber-satunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran.

MAKNA FILOSOFI HARI RAYA GALUNGAN
            Pemaknaan hari raya Galungan demikian beraneka ragam di rayakan oleh penganut agama Hindu di Nusantara. Sebagian yang terjadi saat ini perayaan hari raya Galungan dengan bersembahyang di pura, mebanten di ladang/sawah/kebun dan bersimekrame dengan keluarga, tetangga dan lingkungan. Dikalangan usia anak-anak Galungan di peringati dengan memakai sesuatu yang baru, misalkan baju baru, celana baru dan sebagainya. Ada juga mengisi hari besar ini dengan bermain-main dan bertamasya.

            Pada hakekatnya perayaan hari raya galungan bermakna :
·         Kemenangan atas penundukan Sad Ripu (6 sifat kegelapan dalam diri)
·         Simbolisasi penghaturan mahasuksme/puji syukur kepada Tuhan
·         Penerangan rohani yang suci yang terbebas dari kekacauan
·         Pengucapan mahasuksme dan penghargaan serta penghoramatan kepada manusia, alat-alat bantu kegiatan, tumbuhan, hewan, dan semua yang ada di alam semesta ini.

Macam - Macam Galungan
A. Galungan
Di dalam lontar Sundarigama menyebutkan pada Budha Kliwon wuku Dungulan disebut hari raya Galungan.
B. Galungan Nadi
Apabila Galungan jatuh pada bulan Purnama disebut Galungan Nadi, umat Hindu melaksanakan tingkatan upacara yang lebih utama. Berdasarkan Lontar Purana Bali Dwipa bahwa Galungan jatuh pada sasih kapat (kartika) tanggal 15 (purnama) tahun 804 saka Bali bagaikan lndra Loka ini menandakan betapa meriahnya dan sucinya hari raya itu.
C. Galungan Naramangsa.
Dalam Lontar Sanghyang Aji Swamandala mengenai Galungan Naramangsa disebutkan apabila Galungan jatuh pada Tilem Kapitu dan sasih Kasanga rah 9, tengek 9, tidak dibenarkan merayakan hari raya Galungan dan menghaturkan sesajen berisi tumpeng seyogyanya umat mengadakan caru berisi nasi cacahan dicampur ubi keladi, bila melanggar akan diserbu oleh Balagadabah. 
RENTETAN HARI RAYA GALUNGAN
Semua hari raya pasti ada persiapan ataupun tahapannya dalam menyambutnya. Dalam menyambut hari raya Galungan tidak hanya merayakan dalam satu hari saja, namun jauh hari sebelumnya sudah ada tahapannya. Dalam wewaran/wariga/sistem kalender hindu di nusantara hari raya Galungan memiliki berepa tahapan acara dan hari khusus. Berikut tahap-tahapan hari raya Galungan :
1.    Tumpek Pengarah atau Pengatag,
Pada Saniscara kliwon wuku wariga/Tumpek atag/Tumpek Bubuh atau hari Sabtu Kliwon Minggu Wariga Tepatnya 25 hari sebelum Hari Raya Galungan dan persembahan ditujukan kepada dewa Sankara (nama lain Dewa Siva)sebagai penguasa tumbuh-tumbuhan dengan mempersembahkan sesaji pada pohon-pohon kayu yang menghasilkan buah, daun, dan bunga yang akan digunakan pada Hari Raya Galungan. Hari suci erat kaitanya dengan ajaran Tri Hita karana yang ketiga yaitu Palemahan/hubungan baik kepada tumbuh-tumbuhan, tanaman dan lingkungan hidup.
2.     Sugihan Jawa 
Pada wrespati wage wuku Sungsang/Kamis Wage minggu Sungsang atau 6 hari sebelum hari raya Galungan. Kata Sugihan berasal dari urat kata Sugi yang artinya membersihkan dan Jaba artinya luar, jadi pada hari ini menyucikan pembersihan Bhuana Agung - sekala-niskala.
Dalam lontar Sundarigama dijelaskan: bahwa Sugihan Jawa merupakan "Pasucian dewa kalinggania pamrastista bhatara kabeh" (pesucian dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara). Pelaksanaan upacara ini dengan membersihkan alam lingkungan, baik pura, tempat tinggal, dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci. Dan yang terpenting adalah membersihkan badan phisik dari debu kotoran dunia maya, agar layak dihuni oleh Sang Jiwa Suci sebagai Brahma Pura.

3.    Sugihan Bali
Jatuh pada hari Sukra Kliwon wuku Sungsang/Jumat Kliwon Minggu Sungsang (sehari setelah Sugihan Jawa/lima hari sebelum Galungan). Bali dalam bahasa Sansekerta berarti kekuatan yang ada dalam diri. Jadi Sugihan Bali memiliki makna yaitu menyucikan diri sendiri, sesuai dengan lontar Sundarigama:
 "Kalinggania amrestista raga tawulan"
(oleh karenanya menyucikan badan jasmani-rohani masing-masing /mikrocosmos) yaitu dengan memohon tirta pembersihan /penglukatan.
 Manusia tidak saja terdiri dari badan phisik tetapi juga badan rohani (Suksma Sarira dan Antahkarana Sarira). Persiapan phisik dan rohani adalah modal awal yang harus diperkuat sehingga sistem kekebalan tubuh ini menjadi maksimal untuk menghadapi musuh yang akan menggoda pertapaan kita.
4.    Panyekeban 
 Jatuh pada Radite Pahing wuku Dungulan/Minggu Pahing Dungulan, tiga hari sebelum Galungan. Panyekeban artinya mengendalikan semua indrya dari pengaruh negatif, karena hari ini Sangkala Tiga Wisesa turun ke dunia untuk mengganggu dan menggoda kekokohan manusia dalam melaksanakan Hari Galungan. Dalam Lontar Sunarigama disebutkan :
 "Anyekung Jnana"
artinya
mendiamkan pikiran agar tidak dimasuki oleh Bhuta Galungan dan juga disebutkan "Nirmalakena" (orang yang pikirannya yang selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Bhuta Galungan
Melihat pesan Panyekeban ini mewajibkan umat Hindu untuk mulai melaksanakan Brata atau Upavasa sehingga pemenuhan akan kebutuhan semua Indriya tidak jatuh kedalam kubangan dosa; pikirkan yang baik dan benar, berbicara kebenaran, berprilaku bijak dan bajik, mendengar kebenaran, menikmati makanan yang sattvika, dan yang lain, agar tetap memiliki kekuatan untuk menghalau godaan Sang mara. Jadi tidak hanya nyekeb pisang (biu) atau tape untuk bebantenan saja.

5.    Penyajaan
 Jatuh pada Soma Pon Wuku Dungulan/Senin Pon Dungulan atau dua hari sebelum Galungan. Pada hari ini umat mengadakan Tapa Brata Yoga Samadhi dengan pemujaan kepada Ista Dewata. Penyajaan dalam lontar Sundarigama disebutkan :
"Pangastawaning Sang Ngamong Yoga Samadhi" upacara ini dilaksanakan pada hari Senin Pon Dungulan. Dengan Wiweka dan Winaya, manusia Hindu diajak untuk dapat memilah kemudian memilih yang mana benar dan salah. Bukan semata-mata membuat kue untuk upacara.
6.    Penampahan
 Jatuh pada Anggara Wage wuku Dungulan/Selasa Wage Dungulan tepat sehari sebelum hari Raya Galungan. Penampahan berasal dari kata tampah atau sembelih artinya ; bahwa pada hari ini manusia melakukan pertempuran melawan Adharma, atau hari untuk mengalahkan Bhuta Galungan dengan upacara pokok yakni Mabyakala yaitu memangkas dan mengeliminir sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri, bukan semata-mata membunuh hewan korban, karena musuh sebenarnya ada di dalam diri (Sad Ripu, Sad Atatayi, Sapta Timira, dll), dan bukan di luar diri kita termasuk sifat- sifat hewani tersebut.
Ini sesuai dengan lontar Sundarigama yaitu ;
"Pamyakala kala malaradan".
Inilah puncak dari Brata dan Upavasa umat Hindu, bertempur melawan semua bentuk Ahamkara - kegelapan yang bercokol dalam diri.
Hari Penampahan Galungan inilah yang pada dewasa ini paling kehilangan makna spiritualnya yang paling penting. Konsentrasi kebanyakan keluarga membuat makanan yang enak-enak. Padahal ada upakara penting di Madya Mandala untuk Memohon Tirta dari Luhuring Akasa dalam rangka me-nyomia Buta Kala di Bhuana Agung dan Bhuana  Alit yang sering terlewatkan. Selama ini justru sebagain besar dari kita malah berpesta pora makan, lupa terhadap jati diri, menikmati makanan, mabuk. Sehingga bukan Nyomya Bhuta Kala- Nyupat Angga Sarira, malah kita akhirnya menjelma jadi Bhuta itu sendiri.
            Pada hari ini umat Hindu yang akan menyambut hari kemenangan membuat penjor sebagai pangastawa kepada Ida SangHyang Widi Wasa dan ucapan rasa syukur. Umat hindu-Bali mengenal 2 (dua) penjor yaitu penjor sakral/keagamaan dan penjor hiasan, dalam perayaan hari raya Galungan memakai penjor sakral. Definisi Penjor menurut I.B. Putu Sudarsana dimana Kata Penjor berasal dari kata “Penjor”, yang dapat diberikan arti sebagai, “Pengajum”, atau “Pengastawa”, kemudian kehilangan huruf sengau, “Ny” menjadilah kata benda sehingga menjadi kata, “Penyor” yang mengandung maksud dan pengertian, ”Sebagai Sarana Untuk Melaksanakan Pengastawa”. Penjor melambangkan kemenangan Dharma atas adharma atau juga simbul dari gunung yang selalu memberikan kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakat.
            Penjor di buat dari bambu yang melengkung/bambu utuh yang sudah di bersihkan dari daunya lalu di hiasi dengan daun kelapa/janur atau bisa juga dau lontar. Berikut cara membuat penjor : sebatang bambu yang ujungnya melengkung, dihiasi dengan janur/daun enau yang muda serta daun-daunan lainnya (plawa). Perlengkapan penjor Pala bungkah (umbi-umbian seperti ketela rambat), Pala Gantung (misalnya kelapa, mentimun, pisang, nanas dll), Pala Wija (seperti jagung, padi dll), jajan, serta sanggah Ardha Candra lengkap dengan sesajennya. Pada ujung penjor digantungkan sampiyan penjor lengkap dengan porosan dan bunga.
Sanggah Penjor Galungan mempergunakan Sanggah Ardha Candra yang dibuat dari bambu, dengan bentuk dasar persegi empat dan atapnya melengkung setengah lingkaran sehingga bentuknya menyerupai bentuk bulan sabit.Adapun makna dari unsur-unsur penjor sebagai berikut :
1.      Kain putih yang terdapat pada penjor sebagai simbol kekuatan Hyang Iswara.
2.      Bambu sebagai simbol dan kekuatan Hyang Brahma. 
3.       Kelapa sebagai simbol kekuatan Hyang Rudra.
4.      Janur sebagai simbol kekuatan Hyang Mahadewa. 
5.      Daun-daunan (plawa) sebagai simbol kekuatan Hyang Sangkara. 
6.      Pala bungkah, pala gantung sebagai simbol kekuatan Hyang Wisnu. 
7.      Tebu sebagai simbol kekuatan Hyang Sambu. 
8.      Sanggah Ardha Candra sebaga: simbol kekuatan Hyang Siwa. 
9.      Upakara sebagai simbol kekuatan Hyang Sadha Siwa dan Parama Siwa.

10.           Galungan
Tepat pada Budha Kliwon wuku Dungulan/Rabu Kliwon wuku Dungulan, Hari ini  adalah   puncak perayaan yang merupakan hari kemenangan Dharma terhadap Adharma setelah berhasil mengatasi semua godaan selama perjalan hidup ini, dan merupakan titik balik agar manusia senantiasa mengendalikan diri dan berkarma sesuai dengan Dharma dalam rangka meningkatkan kualitas hidup dan dalam usaha mencapai anandam atau jagadhita dan moksa serta shanti dalam hidup sebagai mahluk yang berwiweka. Umat Hindu pada hari ini melakukan persembahyangan di pura mrajan/keluarga, desa, dan lain-lain. Dilanjutkan dengan mebanten alat-alat bantu seperti alat transportasi, alat bekerja, alat elektronik dan mebanten di ladang/sawah atau tempat lainnya. 
11.           Umanis Galungan
Setelah merayakan kemenangan , pada hari wrespati umanis wuku Dungulan/Kamis umanis minggu Dungulan, manusia merasakan nikmatnya (manisnya) kemenangan dengan mengunjungi sanak saudara mesima-krama dengan penuh keceriaan, berbagi suka cita, mengabarkan ajaran kebenaran betapa nikmatnya bisa meneguk kemenangan. Jadi pada hari ini umat Hindu wajib mewartakan-menyampaikan pesan Dharma kepada semua manusia inilah misi umat Hindu Dharma. Cara menyampaikan ajaran kebenaran adalah dengan Satyam Vada yaitu mengatakan dengan kesungguhan dan kejujuran.
12.           Pemaridan Guru
Jatuh pada Saniscara Pon wuku Dungulan/Sabtu Pon Dungulan, maknanya pada hari ini dilambangkan dengan kembalinya Dewata-dewati, pitara-pitari, para leluhur ke tempat payogannya masing-masing dan meninggalkan anugrah berupa kadirgayusan yaitu ; hidup sehat umur panjang, dan hari ini umat menikmati waranugraha dari dewata. Di beberapa daerah dibali biasanya dilakukan dengan sarana banten "tegen-tegenan" yang berisi hasil bumi berupa padi, buah-buahan dan aneka rupa jajanan yang tujuannya diperuntukkan untuk memberikan bekal kepada para leluhur yang akan mantuk kembali ke Sunya Loka.
13.           Pemacekan Agung
 Jatuh pada hari Soma Kliwon wuku Kuningan. Tepat pada hari ini merupakan hari pertengahan dari rangkaian panjang hari raya Galungan. Hari ini tepat 30 hari dari sejak hari Tumpek Pengarah, dan 30 hari menjelang hari Pegat Uwakan (Budha Kliwon Pahang). Pada hari ini umat menancapkan dan meneguhkan tekadnya kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam menghadapi dan mengarungi kehidupan selanjutnya dengan senantiasa berjalan dalam koridor dharma. Pada hari ini dibeberapa wilayah dibali dilakukan persembahyangan dengan sarana raka ajengan tipat pesor sebagai rasa syukur dan sembah bakti kehadapanNya.
14.           Kuningan.
Jatuh di Saniscara Kliwon Wuku Kuningan, Pada Hari ini diyakini bahwa para dewata dan roh-roh leluhur akan turun ke marcapada/mayapada untuk menerima sembah bakti umat dan prati sentananya dengan segala cinta kasihnya, dan pada siang harinya para dewata dan roh suci leluhur kembali menuju kahyangan stana-nya masing-masing yang diyakini tempatnya di svargaloka (alam sorga). Kuningan merupakan hari kasih sayang, yang disimbulkan melalui berbagai pratika upakara seperti: tamiang, koleman, sulangi, tebo, dan endongan. 
15.           Budha Kliwon Pahang
Rangkaian perayaan Galungan dan Kuningan berkahir pada Budha Kliwon Pahang/Rabu Kliwon wuku Pahang yang sering disebut hari raya Pegat Uwakan. Pada hari ini umat melakukan persembahyangan mengahturkan suksmaning manah lan idep kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas karunia dan wara nugrahanya bisa melaksanakan rangkaian perayaan hari Raya Galungan dengan sempurna. Penjor yang sudah terpasang itu kemudian di cabut dan disisanya dibakar lalu abu nya di taruh di kelapa yang kecil (bungkak) untuk selanjutnya di tanam di pekarangan rumah.
           

 PENUTUP
KESIMPULAN
        Hari raya Galungan adalah adalah Ngaturang paramasuksmaning idép/menghaturkan puji syukur dan terimakasih tak terhingga kepada Ida Sanghyang widi Wasa atas angayubagya, waranugraha yang kita miliki dan merayakan Kemenangan atas peperangan/pertempuran  Dharma/kebenaran melawan Adharma baik dalam diri, dunia, dan alam semesta yang jatuh pada hari Budha Kliwon wuku Dungulan/ Rabu Kliwon minggu Dungulan.

SARAN
1.      Hendaknya hari raya Galungan yang di artikan kemenangan tidak di salah gunakan fungsinya.
2.      Umat hindu hendaknya tidak berpoya-poya, memaksakan, dan melencengkan fungsinya karena kemenangan yang telah tercapai.
3.      Merayakan hari raya Galungan penuh bhakti dan tidak membawa kebiasaan buruk kepada lingkungan.

4.      Hari raya Galungan adalah simbulisasi akan kemenangan, namun peperangan masih terjadi dalam diri individu manusia itu sendiri setiap waktu.

Sabtu, 12 Oktober 2013

NAMA & GELAR ORANG BALI

SISTEM PENAMAAN DAN GELAR  DALAM SUKU BALI
            AUM SWASTYASTU,
            “Apalah arti sebuah nama”, itu yang sering kita dengar pada saat orang menyebutkan identitasnya. “gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama.” Sebuah pribahasa yang mengajarkan nilai etika moral yang sangat tinggi bagi pembacanya. “Nama seseorang bisa menetukan nasib hidupnya.” Sebuah kalimat penuh makna akan arti sebuah nama. Begitu pentingnya sebuah nama untuk seseorang menjadikan pemberian nama adalah sakral dan sangat berarti. Indonesia atau nusantara yang multikultur ini di huni oleh banyak etnis, suku, agama, ras dan golongan. Setiap suku mempunyai keunikan dalam segi bahasa, adat istiadat, cara berpikir dan upacara yang berbeda-beda pula, termasuk dalam memberikan nama-nama bagi generasi penerusnya. Suku di Indonesia memberikan nama berdasarkan golongan strata di masyarakat, marga, wilayah, urutan keturunan, gelar bangsawan, agama, artis  dan sebagainya. Berikut nama-nama yang ada di indonesia :
·         Tengku, Teuku, Cut dari D. I Aceh
·         Sitompul, Sitanggang, Marpaung dari Sumatera Utara
·         Sri sultan hemengkubuwono, Raden mas, Raden Ayu dari D. I Yogjakarta
·         Kei dari maluku utara
·         Ida bagus/Ida ayu, Dewa putu,Anak agung, I gusti dan sebagainya(warna) dari Bali
·         Wayan, Made, Nyoman, Ketut, Nengah dan sebagainya dari Bali
·         Dan lain-lain

Dalam tulisan ini akan membahas sistem penamaan pada masyarakat Bali (suku Bali).  Pengaruh Hindu yang sangat kuat  di bali sangat mempengaruhi sistem penamaan  masyarakatnya. Suku Bali dalam memberikan nama berdasarkan warna, gelar kerajaan dan urutan kelahiran dalam sebuah keluarga, Namun dominan memberikan nama berdasarkan urutan kelahiran pada sebuah keluarga. Satu persatu akan di bahas berdasarkan kelompoknya berikut artinya :

1.     Pemberian nama berdasarkan Warna
Warna adalah pengelompokan masyarakat berdasarkan fungsi/profesi dalam kehidupan sehari-hari. Namun warna tidak dikenal dikalangan masyarakat Bali sekarang ini, mereka (Bali) lebih mengenal istilah Kasta (penggelompokan turun temurun berdasarkan profesi yang di buat oleh belanda). Sebagian besar Masyarakat nusantara lebih mengenal Kasta di bandingkan dengan Warna. Sebenarnya pengelompokan Warna menjadi Kasta itu tidak benar, itu hanya politik Hindia-Belanda untuk menaklukan  dan menguasai Bali.
Kata "Kasta" berasal dari bahasa Portugis "Caste" yang berarti pemisah, tembok, atau batas. Timbulnya istilah kasta dalam masyarakat Hindu adalah karena adanya proses sosial (perkembangan masyarakat) yang mengaburkan pengertian warna. Pengaburan pengertian warna ini melahirkan tradisi kasta yang membagi tingkatan seseorang di masyarakat berdasarkan kelahiran dan status keluarganya. “Caste” dalam bahasa Portugis juga berarti struktur sosial yang berjenjang dalam feodalisme dimana untuk kepentingan status-quo telah menyimpangkan filosofi Warna.
Istilah "kasta" tidak diatur di dalam kitab suci Weda. Kata "Kasta" itu sendiri dalam bahasa Sanskerta berarti "kayu".
 Portugis memakai istilah kasta untuk memecah belah kerajaan Bali agar bisa di kuasai. Warna (fungsional) yang di sebutkan dalam Veda adalah catur Warna (empat kelompok berdasarkan keahlian, fungsional dan profesi) yaitu :
a.       Brahmana
Brahmana adalah seseorang yang ahli dalam bidang agama yang berfungsi sebagai rohanian dan memimpin upacara, seperti Pendeta, Ida Bedanda dan sebagainya dan di beri gelar Ida Bagus untuk Pria dan Ida Ayu untuk Wanita.  Namun pemberian gelar itu juga di barengi dengan urutan nama. Rumusnya (gelar+urutan lahir+nama pemberian orang tua) contoh Ida Bagus :
·         Ida Bagus Putu  Widyana/ Ida Ayu Putu Maharani (bagi anak pertama)
·         Ida bagus Made Iriawan/ Ida Ayu Made Indriani (bagi anak kedua)
·         Ida Bagus Nyoman Mahendra/ Ida Ayu Komang Widyadari (bagi anak ketiga)
·         Ida Bagus Ketut Budiawan/ Ida Ayu Ketut Apsari Dewi (bagi anak keempat)
·         Bila mempunyai keturunan lebih dari 4 (empat) maka akan kembali pada formasi yang pertama dilanjutkan yang kedua begitu seterusnya.
b.      Ksatrya
Ksatrya adalah pengelompokan warna berfungsi sebagai abdi negara, senopati, prajurit atau kaum pertahanan kerajaan lainnya. Ksatrya di beri gelar Anak Agung (laki-laki) dan Anak Agung Ayu (perempuan), sekarang ini di ikuti dengan urutan kelahiran dalam sebuah keluarga. Rumusnya (gelar+urutan lahir+nama pemberian orang tua), contoh :
·         Anak Agung Putu Widyana/ Anak Agung Ayu Maharani (bagi anak pertama)
·         Anak Agung Made Iriawan/ Anak Agung Ayu made Indriani (bagi anak kedua)
·         Anak Agung Nyoman Mahendra/ Anak Agung Ayu Komang Widyadari (bagi anak ketiga)
·         Anak Agung Ketut/ Anak Agung Ayu Ketut Apsari Dewi (bagi anak keempat)
·         Bila mempunyai keturunan lebih dari 4 (empat) maka akan kembali pada formasi yang pertama dilanjutkan yang kedua begitu seterusnya.
c.       Wasya
Waysa adalah warna ketiga yang berfungsi sebagai penggerak ekonomi, pembangunan dan perindustrian, seperti pedagang, saudagar dan penguasa. Ada sumber yang menulis gelar Waysa itu adalah I gusti, namun dari I Gusti sendiri mereka menggolongkan dirinya kedalam warna Ksatrya. Pemberian namanya yakni (Urutan kelahiran keluarga+nama pemberian nama), contoh :
·         I wayan Widyana
·         I Made iriawan
·         I komang Mahendra
·         I Ketut Budiawan
·         Bila mempunyai keturunan lebih dari 4 (empat) maka akan kembali pada formasi yang pertama dilanjutkan yang kedua begitu seterusnya.

d.      Sudra
Sudra adalah warna keempat yang fungsionalnya melayani ketiga warna di atas. Bila dikaitkan dengan profesi sekarang Sudra adalah kaum buruh dan tenaga kerja lainnya. Tidak ada gelar Khusus untuk mereka hanya untuk membedakan lelaki dan perempuan terletak pada nama depan nya (I) laki-laki dan (Ni) perempuannya. Rumusnya sama seperti Klasifikasi Waysa.

2.     Pemberian nama berdasarkan gelar kerajaan
Dasar yang kedua untuk pemberian nama di Bali adalah berdasarkan keturunan kerajaan/Puri. Puri di pulau Bali adalah nama sebutan untuk tempat tinggal bangsawan Bali, khususnya mereka yang masih merupakan keluarga dekat dari raja-raja Bali. Berdasarkan sistem pembagian triwangsa atau warna (fungsi) yaitu Brahmana, Ksatrya dan Wasya. maka puri ditempati oleh bangsawan berwangsa ksatria.
Puri-puri di Bali dipimpin oleh seorang keturunan raja, yang umumnya dipilih oleh lembaga kekerabatan puri. Pemimpin puri yang umumnya sekaligus pemimpin lembaga kekerabatan puri, biasanya disebut sebagai Penglingsir atau Pemucuk. Para keturunan raja tersebut dapat dikenali melalui gelar yang ada pada nama mereka, misalnya :
·         Ida bagus, I Gusti, Cokorda, Anak Agung Ngurah, Dewa Agung, Ratu Agung, Ratu Bagus dan lain-lain untuk pria; serta Cokorda Istri, Anak Agung Istri, Dewa Ayu, dan lain-lain untuk wanita.
·         Cokorda adalah gelar raja yang dominan di Bali, seperti : Cokorda Ngurah Ketut (1929–1939) [kemenakan Gusti Ngurah Agung], Cokorda Ngurah Gede (1944–wafat 1987) [anak Cokorda Ngurah Ketut] dan seterusnya.

3.     Pemberian Nama berdasarkan nomor urut kelahiran
Pada umumnya masyarakat kebanyakan dari berbagai suku memberi nama keturunan mereka dengan bahasa sansekerta, yakni Eka, Dwi, Tri dan seterusnya. Tapi tidak pada masyarakat suku Bali, walaupun pengaruh Hindu yang kuat Bali tetap mempunyai budaya yang sangat unik dalam sistem nama. Masyarakat Indonesia/nusantara sangat mengenal sistem nama pada suku Bali, bahkan menjadi ciri khas tersendiri bagi suku bali. Nama berdasarkan urutan kelahiran dalam keluarga ini di pakai pada semua warna, artinya sesungguhnya inilah sebenarnya sistem penamaan yang paling dominan dipakai untuk generasi penerus pada masyarakat suku Bali. Yang menjadi dasar pertama adalah jenis kelamin yaitu (I) laki-laki dan (Ni) perempuan. Berikut nama-namanya :

·         Anak Pertama (Wayan)
Nama Wayan berasal dari kata “wayahan" bahasa Bali  yang artinya yang paling matang.  Sehingga setiap mempunyai anak pertama dinamakan “Wayan”. Tapi tidak terpaku pada Wayan saja anak pertama di beri nama Putu, Gede, Luh khusus wanita. Jadi dasar pemberian namanya (Jenis kelamin+Wayan/Putu/Gede). Catatan nama anak pertama ada juga dibariskan seperti : Ni Luh Putu Wayan Eka Widyasari (perempuan).
·         Anak Kedua Made)
Titel anak kedua adalah Made yang berakar dari kata "Madya" (sansekerta) yang artinya tengah. Tetapi ada sinonim dari nama “Made” itu, yakni Kadek, dan Kade. Dalam memberi tergantung orang tua mau memilih yang mana, dasarnya sinonim dari urutan kelahiran tersebut.
·         Anak Ketiga (Nyoman)
Anak ketiga dipanggil Nyoman yang secara etimologis berasal dari kata "uman" yang bermakna “sisa” atau “akhir”. Jauh sebelum Program Keluarga berencana di galakan masyarakat sudah memperhitungkan tentang resiko dari program keturunan. Ideal dalam sebuah keluarga mempunyai anak cukup dua saja bila ada tiga, maka itu dianggap sisa-sisa. Nyoman juga mempunyai sinonim yaitu Komang.
·         Anak Keempat (Ketut)
Anak keempat dari keluarga Bali di panggil Ketut, yang berasal dari kata “Kitut” (jawa kuna) yang artinya “buntut” atau pengikut, ekor dan akhir. Namun Ketut tidak mempunyai sinonim nama seperti yang lain, karena di anggap ekor itu hanya satu, dirasa sangat istemewa dan pelengkap bila keluarga dalam suku Bali mempunyai anak yang bernama Ketut maka lengkap sudah silsilah keluarga tersebut. Dewasa ini keberadaan “Ketut” semakin sedikit atau yang bernama “Ketut” tersebut sudah semakin sedikit karena di zaman era globalisasi yang ekonomi makin sulit, tingginya biaya hidup, mahalnya pendidikan dan lain-lainnya membuat keluarga di Bali berpikir panjang untuk memiliki anak sampai bernama “Ketut”. Program yang dicanangkan pemerintah pada Desember 1957 di Jakarta semakin mempersempit niat sebuah keluarga untuk mempunyai anak 4 atau lebih. Dan Ketut adalah siklus terakhir sistem penamaan di suku Bali.Bila mempunyai anak Kelima dan seterusnya maka kembali ke Wayan, Made, Nyoman dan Ketut kembali.

Perkembangan sistem penamaan yang terjadi saat ini mengalami kendala pada anak ketiga (Nyoman) dan Keempat (Ketut). Banyak faktor-faktor yang menjadi kendala di lapangan  sistem penamaan suku Bali sebagai tradisi budaya yang bernilai tinggi, faktor-faktor tersebut adalah :
·         Program Keluarga berencana Pemerintah
·         Mahalnya biaya hidup
·         Susah mencari lahan dan lapangan kerja
·         Mahalnya biaya Pendidikan
·         Mahalnya biaya Upacara adat

Sistem Penamaan yang merupakan warisan budaya, tradisi dan ciri khas bagi suku Bali yang bernilai tinggi harus tetap di lestarikan. Tindakan untuk melestarikan budaya tidak semudah membalikan telapak tangan, banyak kendala intern dan ekstern yang dihadapi. Kendala lainnya adalah masalah ekonomi, pendidikan, lahan pekerjaan, adat istiadat dan sebagainya membuat tumpang tindihnya sebuah pelestarian budaya. Hendaknya kita harus bijaksana dalam menyikapi problema/masalah budaya ini. Kerjasama semua pihak dari kesadaran pribadi sebagai suku Bali yang mempunyai warisan budaya sistem penamaan yang merupakan ciri khas Bali merupakan hal terpenting, baik juga adat istiadat yang dirasa rumit bagi yang belum dimengerti.
Perlu adanya gerakan resmi atau semacam penggagas untuk mengingatkan tentang Masalah terancam sistem penamaan. Penulis dalam hal ini karena merasa bagian dari masalah ingin mengajak semua pihak baik perorangan, perkumpulan dan petinggi adat suku Bali untuk mengkampanyekan pelestarian sistem penamaan ini. Penulis dengan kekuatan terbatas sudah merintis “Apei”K” (Aliansi Peduli Ketut) untuk mlestarikan sistem penamaan yang sangat bernilai tinggi dan berciri khas ini. Semoga dengan adanya gerakan ini“Apei”K” (Aliansi Peduli Ketut)  dapat memberitakan, memberi info, penyampaian pesan, dan pembangkit semangat bagi masyarakat suku Bali dimana pun berada supaya tergugah hatinya untuk tetap menjaganya.

AUM SANTIH, SANTIH, SANTIH AUM